SUARA JABAR SATU.COM | — Kolam retensi dan terowongan Curug Jampong menjadi langkah terobosan mengurangi banjir di Bandung Selatan. Incenerator disiapkan di pinggiran Citarum untuk membakar sampah. Skema relokasi industri menyusul.
Titik kilometer 0 Sungai Citarum merujuk ke Situ Cisanti, telaga cantik di lembah Gunung Wayang, di dataran tinggi Bandung Selatan. Tujuh mata air mengalirkan air bening dan berkumpul di telaga itu. Dari salah satu sudut telaga, air segar bergemericik melimpas ke sungai kecil di hulu Citarum.
Dalam perjalanan ke hilir, anak-anak sungai lain bergabung, dan dalam jarak sepuluh kilometer saja sudah terbentuk sungai yang lebar dan berarus deras. Betapa tidak, hulu Citarum ini dikepung oleh tanah pegunungan yang bercurah hujan tinggi yang membentuk banyak anak sungai dan bermuara di Citarum, yang kemudian membawanya ke hilir sepanjang 276 km.
Jangan heran, bila belakangan prajurit TNI berseragam loreng sering terlihat di Situ Cisanti. Prajurit Kodam III Siliwangi itu memang mendapat tugas memerangi sampah dan aksi pencemaran di sungai terpanjang di Jawa Barat itu. Seringkali mereka melakukan operasi gabungan bersama aparatur sipil, mahasiswa, atau pegiat LSM, di bawah panji Program Citarum Harum.
Program konservasi yang bertajuk Citarum Bestari sebetulnya sudah digulirkan sejak 2013 oleh Gubernur Ahmad Heryawan. Penataan Telaga Cisanti pun dilakukan sebagai bagian dari manajemen Citarum hulu. Tapi dengan anggaran yang terbatas dari Pemprov Jawa Barat, laju pencemaran dan kerusakan di daerah aliran sungai (DAS) Citarum sulit dibendung. Pemerintah pusat turun tangan.
Sejak 2015 Presiden Joko Widodo mulai memberikan perhatian yang lebih besar. Tapi, kompleksitas masalah yang ada menuntut kebijakan yang lebih massif. Maka, terbit Perpres (Peraturan Presiden) nomor 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, pada Maret tahun lalu.
Ada dua masalah penting dalam Perpres ini. Yang pertama ialah pencemaran sampah rumah tangga, kegiatan perdagangan, dan industri di pinggiran Sungai Citarum serta anak-anak sungainya. Kedua, kerusakan fisik di DAS Citarum yang diindikasikan oleh tingkat erosinya, sedimentasi, longsor, dan rendahnya daya serap air tanah hujan akibat meluasnya lahan kritis. Kondisi yang terakhir ini sering mengakibatkan banjir di hilir.
Perpres tersebut mengamanatkan adanya tim khusus yang bertanggung jawab langsung ke presiden. Menko Kemaritiman menjadi ketua dewan pengarah, dengan anggota 14 menteri teknis ditambah pula Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri sebagai anggota. Semua kementerian diamanatkan agar mendukung program tersebut sesuai dengan lingkup tugasnya.
Dalam pelaksanaannya, ada satgas harian yang dikomandani Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ia dibantu dua orang wakil, yakni Wakil Komandan Bidang Penataan Ekosistem I yang dijabat Pangdam III Siliwangi, dan Komandan Ekosistem II Pangdam II Jakarta. Ekosistem I adalah wilayah hulu sampai ke Bendungan Jatilihur, sedangkan ekosistem dari Jatiluhur hingga ke muara sungai di daerah Bekasi.
Daerah Aliran Sungai Citarum, Rancamanyar, Kabupaten Bandung. Sumber foto: Antara Foto
Maka, secara reguler satuan-satuan TNI itu bergerak menyisir DAS Citarum dari hulu ke hilir. Berkat operasi TNI itu pula Telaga Cisanti kini tampak bersih elok. Tangan-tangan prajurit Siliwangi itu yang membebaskan telaga dari sampah plastik, enceng gondok, gulma air, dan sedimentasi. Bahkan, para prajurit itu perlu mengerahkan mesin keruk amfibi guna menormalisasi Situ Cisanti. Telaga itu kini tampak lebih asri dari sebelumnya.
Bukan itu saja, kawasan hutan milik negara di sekitar telaga juga telah dihijaukan dengan beragam tanaman keras. Prajurit Siliwangi itu juga tidak segan membantu petani membuat terasering untuk menekan erosi lalu menanam pohon-pohon di tepi turap petakan kebun. Tak jarang, pasukan baju loreng ini bekerja sama dengan mahasiswa, pegiat LSM, atau kelompok masyarakat lain melakukan razia sampah, membuat biopori dan membangun kakus untuk warga.
Pada kesempatan lainnya, para prajurit dan petugas sipil berpatroli dengan perahu karet menyusuri sungai, menginpeksi saluran pembuangan industri. Begitu terlihat ada indikasi industri membuang air limbah yang belum terolah, mereka bertindak. Saluran air itu disumbat dengan adukan semen.
Kebutuhan warga tak diabaikan. Ketika menjabat sebagai Wali Kota Bandung Ridwan Kamil merintis penyediaan intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal. Fasilitas ini bisa menampung air limbah dari 150 keluarga yang sebelumnya mengalirkan limbah MCK-nya langsung ke anak sungai Citarum. Dengan begitu, potensi pencemaran ke Citarum bisa dikurangi.
Namun, sampai 2018 hasil yang dicapai Program Citarum Harum ini masih belum terlalu signifikan. Erosi, sedimentasi, dan pencemaran (baik dari rumah tangga, perdagangan maupun industri), masih terus terjadi. Dari 3.236 unit industri yang ada di DAS Citarum, hanya 20 persen yang memiliki IPAL. Selebihnya, masih main kucing-kucingan dalam membuang limbah dan belum ada solusi permanen.
IPAL komunal juga masih harus terus dibangun di permukiman padat. Begitu halnya dengan tempat pembuangan sampah sementara, agar warga tidak melemparnya ke badan sungai dan membuat air sungai dipenuhi ceceran minyak goreng, tetesan oli, tulang ayam, tinja, styrofoam, kantong, sachet dan botol-botol plastik. Sudah cukup lama sumur-sumur penduduk tercemar oleh beraneka bahan beracun dan beragam kuman.
Program Ciliwung Harum menjanjikan penanganan yang lebih menyeluruh. Untuk masalah sampah domestik, pemerintah merencanakan secara bertahap mengoperasikan sekitar 50 unit incenerator (mesin bakar) di sekitar Citarum, yang masing-masing berkapasitas 7,5 ton per hari. Ini pilihan yang lebh reaalistis katimbang harus membawa sampah sungai ke tempat pembuangan sampah air yang jauh lokasinya. IPAL Komunal juga akan dibangun lebih banyak.
Potensi banjir akan dicegah mulai hulu. Program terasering diperluas, penanaman pohon produktif di lahan kritis, budidaya kopi atau tanaman keras lainnya di kebun-kebun yang berlereng di daerah pegunungan dan pengawasan atas hutan-hutan lindung. Kolam-kolam retensi pun sedang dibangun guna menahan luapan air Citarum agar tak menggenangi kawasaan permukiman.
Kondisi kolam retensi Cieunteung, Baleendah, Kabupaten Bandung yang sudah mencapai estimasi 90% dengan rumah pompa yang hampir jadi. Sumber foto: Antara Foto
Sekitar 1.650 ha, hampir 38% dari kawasan Kecamatan Baleendah di Kabupaten Bandung, menjadi pelangganan banjir setiap tahunnya. Dalam jumlah yang lebih kecil, genangan air juga biasa singgah di Dayeuh Kolot dan Bojongsoang dua wilayah padat lainnya di selatan kota Bandung.
Satu kolam restensi itu kini dibangun di Cienteung, Baleendah, Bandung, oleh Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, sebuah unit kerja di bawah Kementerian PUPR. Dengan luas 5,7 ha, kolam ini mampu menampung 300 ribu m3 air, sehingga mengurangi potensi limpasan ke permukiman. Infrastruktur senilai Rp376 miliar ini diharapkan selesai akhir 2019. Untuk bisa berfungsi secara optimal, kolam rotensi yang diperlukan ada lima unit.
Bahkan, lima kolam belum menjamin wilayah Bansung Selatan ini aman dari genangan. Masih perlu fasilitas tambahan, yakni berupa terowongan sodetan berdiameter 8 meter dengan panjang 280 m, di Curuk Jompong, Bandung Barat. Selama ini, menjelang Curuk Jompong badan sungai menyempit dan menghambat aliran air sungai Citarum ke Waduk Saguling. Membongkar tebing batu di tempat itu tak menjadi pilihan, karena formasi batuan Curug Jompong merupakan situs ekologis yang dinilai sangat berharga.
Kapasitas aliran terowongan sudetan ini (nama resminya terowongan Nanjung) mencapai 1.000 m3 per detik. Saat ini, konstruksinya 70% selesai, dan akan beroperasi tahun 2019 ini. Bila dioperasikan kelak, terowongan yang dibangun dengan biaya Rp250 miliar ini akan membuat air Citarum lebih cepat menghilir dan mengurangi tinggi permukna air sungai di hulu, alhasil menekan potensi luapan air di Bandung Selatan.
Dalam waktu dekat, sejumlah kendaraan berat pun akan dihadirkan ke lembah Citarum. Kendaraan berat ini akan didedikasikan untuk membersihkan sampah dan lumpur dari Sungai Citarum. Masih ada satu program besar lainnya, yakni membuat IPAL untuk industri atau merelokasikan industri itu sendiri. Dalam skema Citarum Harum, seluruh pekerjaan besar itu akan selesai dalam 7 tahun.
Namun, kini Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan selaku ketua dewan pengarah, dan Ridwan Kamil, Gubernur Jabar dan menjadi Komandan Satgas Citarum Harum, harus berjuang keras terlebih dahulu untuk memperoleh prioritas dari sisi penganggarannya. Pada APBN 2019, Program Citarum harum ini ‘’baru” mendapatkan alokasi sekitar Rp700 miliar di luar proyek yang sudah berjalan seperti kolam retensi dan terowongan Jompong.
Agar dampaknya signifikan, Ridwan Kamil menyebut angka anggaran Rp1,3 triliun untuk 2019 ini. Dengan anggaran yang memadai, tenggat 7 tahun untuk pengendalian kerusakan dan pencemaran Ciarum menjadi realistis./RD
Comment